Jumat, 06 November 2015

CERPEN SUMPAH PEMUDA dengan judul Goresan Tinta Untuk Negeri.


Goresan Tinta Untuk Negeri.
Cerpen Karangan             : Fani Novita Sari
Jurusan                                : Bimbingan konseling
               
            Hal yang selalu terlintas dipikiranku, apakah aku bisa banggakan orang tuaku, banggakan negeriku, banggakan bangsaku dan banggakan tanah airku, walau seperti ini keadaanku?
Aku ingin menjadi anak yang hidup normal seperti teman-teman sebayaku. Menapaki setiap detik waktu belajarku disekolah, menoreh prestasi diusia muda, bergaul dengan teman, mampu bersosialisasi dimasyarakat, banggakan orang tua bahkan saat nyawa dan tubuhku telah terpisahkan oleh maut, sampai kapanpun juga aku ingin dikenang.
Bukan karena kebodohanku tapi karena prestasiku. Salahkah jika orang yang memiliki keterbatasan sepertiku berkeinginan mewujudkan hal itu?
Tapi mengapa aku dilahirkan dengan keterbatasan? Bagaimana aku bisa mewujudkan keinginanku jika keadaanku seperti ini ya Allah?
Namaku Rinta Ayu Dewi, orang-orang kerap memanggilku Rinta. Aku bukanlah anak dari seorang menteri yang hidup serba berkecukupan, bukan pula seorang anak dari pengusaha kaya. Ayahku yang hanya seorang satpam di SD dekat rumahku , bukanlah suatu pekerjaan yang bisa membantu ekonomi keluarga. Sedangkan ibuku hanya seorang buruh cuci. Usiaku genap 13 tahun saat 2 hari yang lalu. Kehidupanku sehari hari hanyalah membantu ibu menyelesaikan pekerjaan di rumah, juga menempuh pendidikan di salah satu sekolah menengah pertama luar biasa di kotaku.
SMPLB? Ibu dan ayah menyekolahkanku di sana karena aku mempunyai keterbatasan, tahukah kamu apa keterbatasanku? Aku salah satu anak indonesia penderita disleksia, sangat jarang memang di Indonesia ada anak yang menderita disleksia. Disleksia adalah kurangnya kemampuan dalam menyerap kalimat, berhitung dan menulis. Pada  saat ini, aku masih belum tau apa gerangan yang menyebabkanku menderita penyakit itu. Tetapi aku pernah mendengar, saat dokter berbincang dengan ayah dan ibuku, disleksia yang kuderita bukan karena ibu dan ayahku yang terlambat menyekolahkanku, bukan pula karena kemalasanku belajar, tetapi memang karena otakku tak mampu berfikir berat secara cepat.
Di sekolah, aku tak punya banyak teman. Aku mengenali mereka semua, tetapi tak ada yang mau mendekat kepadaku. Hanya Loli yang setiap hari bersamaku di sekolah. Ia juga mengidap disleksia sama sepertiku, tetapi ia juga mengidap kanker hati. Mungkin tak banyak anak yang mau berteman denganku bahkan mereka hanya berbicara sepatah dua patah kata denganku, karena hanya menghabiskan waktu, butuh lebih dari tiga menit untukku menjawab pertanyaan dari mereka. Dan itu sudah pasti tak menyenangkan.
Pernah saat itu, tetangga sebayaku, Anisa, bertanya kepadaku, “Dari tadi Aku mencari adikku kemana mana tidak ada. Apakah Kau melihatnya?” Anisa kewalahan mencari adiknya, menggerutu tak jelas, mukanya kelihatan sangat sebal.
Aku hanya mendengarkan ucapannya, lalu memandang wajahnya, dan kemudian mencoba mencerna apa yang ia katakan. Tetapi aku masih bingung dengan apa yang ia katakan. Aku memilih terdiam dan masih mencoba mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Hey Rinta, apa Kamu tidak tahu kalau aku lagi kesal? Aku tuh nanya ke Kamu. Kalau nggak tau ya bilang aja! Nggak punya mulut apa gimana sih? Nggak tau apa orang lagi kesal? Dasar idiot aneh”kata Anisa dengan suara yang keras.
Nampaknya Anisa seperti orang yang sedang marah. Aku jadi semakin bingung. Deretan kata yang ia ucapkan membuat hatiku sakit, walaupun aku tak sepenuhnya faham ucapannya.
Kebingunganku akan ucapan Anisa semakin membuat kepalaku pusing, otakku rasanya sakit.
Aku segera memutuskan untuk berlari masuk ke dalam rumah. Terdengar, di luar Anisa berteriak-teriak sembari mengatakanku idiot dan cewek aneh. Hal itu juga berlaku saat aku di sekolah. Saat aku sedang menulis, saat aku sedang berhitung, selalu saja aku merasa kepalaku pusing dan otakku memanas.
Dibalik semua keterbatasanku, aku masih punya mimpi. Secuil kecil mimpi anak Indonesia penderita disleksia. Yang ingin membanggakan kedua orangtua, membanggakan bangsaku, Dan apakah hal itu salah?

Walaupun aku berkebutuhan, apakah menurutmu aku tak bisa seperti yang lain? Bukannya aku menyombongkan diri, tetapi Kita kan sama-sama ciptaanNya, kita ada di satu bangsa, satu tanah air, dan memiliki bahasa kesatuan yang sama. Indonesia. Dan, salahkah anak Indonesia sepertiku bermimpi?
Pernah suatu ketika, aku mencoba membuat sebuah cepen dan artikel tentang diriku di buku kecilku, tanpa sepengetahuan ayah dan ibu pastinya. Jika mereka mengetahuinya pasti aku dimarahi mereka karena aku tak boleh berpikir terlalu berat. Dengan sekuat tenaga aku berfikir setiap malam. Merasakan sakit kepala yang berkepanjangan. 5 hari berturut turut. Entah bagaimana, 10 hari setelah selesai, cerpen artikelku dimuat di salah satu redaksi ternama di Jakarta. Ternyata ayahlah yang mengirimkan karyaku tersebut tanpa sepengetahuanku. Ternyata ketika aku menulis cerpen dan artikel ayah setiap malam memperhatikanku dari kejauhan . Aku berterima kasih pada ayah, juga pada ibu. Syukur selalu kuucapkan padaNya. Aku masih tak percaya. Dan aku berjanji akan terus berusaha mencoba dan belajar menulis di tengah keterbatasanku.
Hingga pada suatu hari, sebuah redaksi nasional memintaku menjadi salah satu jurnalisnya dalam sebuah event. Tahukah Kamu event apakah itu? Ternyata adalah konferensi pers Asian di Filipina. Aku akan berangkat ke Filipina? Ya Allah, benarkah ini semua? Apa yang aku impikan akan terwujud, menjadi jurnalis cilik pertama di ajang bergengsi tingkat Asia tersebut. Aku akan disejajarkan dengan para jurnalis asal negara-negara di Asia? Tentunya mereka lebih dewasa dan lebih paham akan dunia jurnalistik. Dan itu berarti aku akan bisa banggakan orangtua, juga tanah airku. Terima kasih ya Allah.
Tetapi sayang, 2 hari sebelum keberangkatanku ke Filipina, suatu hal buruk menimpaku. Dokter memvonisku menderita kanker otak stadium akhir, ternyata itulah yang menyebabkan mengapa aku menderita disleksia akut serta merasakan sakit yang luar biasa setiap saat. Ya Allah, cobaan apalagi yang engkau berikan ini? Aku masih ingin membanggakan orangtuaku, juga bangsaku. Aku mohon padamu ya Allah.
Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Filipina. Aku tak sendirian, Bersama ayah dan juga ibu serta para karyawan dari redaksi lain. Pukul 13.30 sesuai dengan jam indonesia yang melingkar di pergelangan tanganku, pesawat landing di bandara Internasional Filipina. Tak lupa aku selalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, agar apapun yang akan aku jalani membawa berkah dan membanggakan serta bernilai positif.
Satu hari setelah aku sampai di Filipina, adalah hari dimana konferensi pers Asian dilaksanakan. Tepat di hari Selasa, tanggal 28 Oktober 2014. Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda di Indonesia. Dan aku berharap, di tanggal baik ini aku bisa menjadi pemudi Indonesia yang membanggakan.
Perhelatan akbar telah selesai dilaksanakan. Aku tahu, semua masyarakat Indonesia menantiku. Menanti kabar apa saja yang akan aku ceritakan. Ayah juga bilang, sesampainya aku di Jakarta nanti, aku harus segera bertolak ke Istana Negara, untuk bertemu bapak Presiden Indonesia.
Pukul 08.00 pagi aku dan rombongan sampai di Jakarta. Aku dan juga ayah serta ibu segera mencari taksi untuk kutumpangi menuju istana negara. Namun, Allah berkehendak lain, saat di perjalanan tiba tiba kepalaku merasa sakit yang tidak seperti biasanya. Aku menjerit kesakitan. Ayah dan ibu panik, segera aku dilarikan ke rumah sakit.

2 jam di rumah sakit tak membuatku sadar. Aku tahu, ayah dan ibu merasakan kecemasan. Ya Allah, jika memang ini saatnya aku untuk pergi dari dunia ini aku ikhlas ya Allah. Aku sudah tidak kuat merasakan sakit dalam hidupku ya Allah. Tapi izinkan aku memeluk dan mencium tangan ibu dan ayah ku untuk terakhir kalinya.
Allah mengabulkan permintaanku. Aku tersadar hanya 5 menit saja dan aku meminta dokter memanggilkan ayah dan ibu. Sesampainya mereka ketempatku aku berbicara kepada mereka “ibu.. ayah.. Rinta bangga jadi anak ibu dan ayah.. maafkan Rinta karena belum bisa jadi anak yang berbakti, Rinta sayang ibu dan ayah“ aku mencium tangan ayah dan ibu, lalu memeluk keduanya sambil tersenyum bahagia. Kini malaikat maut telah mencabut nyawaku. Terdengar isak tangis yang begitu mendalam dari sanak saudaraku. Dan, aku meninggal dengan senyuman manis menempel di bibirku.
Terima kasih ya Allah. Engkau telah mengabulkan semua doaku. Engkau telah membuatku bisa membanggakan orangtuaku, juga tanah airku, di tengah keterbatasan yang Engkau berikan.
Semoga aku bisa menjadi contoh baik bagi semua pemuda dan pemudi Indonesia. Yang selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan. Tak pernah putus asa dalam setiap cobaan. Dan bisa membanggakan tanah air Indonesia tercinta ini.

Bangun pemuda-pemudi Indonesia…
Lengan bajumu singsingkan, untuk negara…
Masa depan indonesia ada digenggamanmu…
Goreskan prestasimu untuk tanah air tercinta...
Jaya pemuda Indonesia…
Jaya tanah air ku...

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar