MENJELAJAH
KAMPUNG BANDAR SENAPELAN DAN MENGUNGKAP POTONGAN SEJARAH BUDAYA MELAYU
Peradaban sebuah bangsa menjadi bermakna, ketika anak bangsa mampu memahami dan mengingatnya dalam memori
yang dituangkan pada simbol-simbol peradaban. Dirasakan detak jantung dan
napasnya pada kehidupan nyata, serta mampu menghargai makna yang terkandung di
dalamnya. Melalui perilaku dan adab budaya, terkuaklah peradaban yang telah
dimiliki.
Kampung Bandar
Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota
Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang
kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun
berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah
baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama
Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak Sri Indrapura bernama
Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit
berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan
sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan
putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar
pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada 23 Juni 1784
berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah
Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru
dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit
van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru
menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan
ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah
pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur
militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka,
berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103,
Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau
kota besar.
Setelah itu berdasarkan UU No.22
tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota
Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan
keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari
kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan
Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi
menjadi ibukota Propinsi Riau. Itulah
sejarah singkat kota Pekanbaru yang berawal dari kampung Senapelan.
Sebuah perjalanan yang mengesankan
yang bertajuan "Menjadikan
kelurahan Kampung Bandar Senapelan Menjadi Kawasan Sejarah dan Cagar Budaya Melayu
di Kota pekanbaru" dalam kegiatan menjelajah kampung Bandar
Senapelan mengantarkan kami untuk menelusuri sebuah kejayaan dan peradaban
melayu masa lalu di kota Pekanbaru. Kami seakan berada di Pekanbaru masa lalu.
Minggu pagi 17 Mei 2015 kami dipandu oleh bapak Elmustian dosen kami yang
mengajarkan studi Budaya Melayu. Dengan semangat juang suara Bapak Elmustian
mengantarkan kami untuk menjelaskan situs sejarah dan pusat budaya melayu masyarakat
masa lalu.
Sebelum
memulai kegiatan menjelajah kami mahasiswa FKIP Bimbingan Dan Konseling B
angkatan 2014 bersama Bapak Elmustian berkunjung ke kim teng dimana disana kami
disuguhkan kopi. Makna dari meminum kopi tersebut yaitu pada zaman dahulu
masyarakat pekanbaru sebelum memulai pekerjaan atau aktivitas mereka meminum
kopi terlebih dahulu dan ini sudah menjadi kebudayaan ditengah masyarakat.
berikut ini adalah sejarah kedai kopi yang ternal pada masa lalu dan masih
bertahan saampai sekarang.
Tang Kim Teng lahir
di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama
kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia
anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu,
Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru.
Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari
kehidupan lebih baik.
Ketika berusia 4 tahun, dari
Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis,
Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka
pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja
Lung Chiu ayahnya serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga
putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di
sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau
biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak
Kecil, kerja serabutan.
Tahun 1934 mereka pindah lagi ke
Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah
sederhana di Jalan Makau–sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja
jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang
pekerja keras dan ulet.
Tahun 1935 Kim Teng pindah ke
Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak
keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang
sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh
abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung
Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu
Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya
mulai tumbuh.
Tahun 1939, Setelah empat tahun Kim
Teng di Pekanbaru, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat
kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari
sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang
jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu
masih musim penjajahan tentara Jepang.
Tahun 1943, saat berusia 22 tahun,
Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama
Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono
Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang
aktif mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat
Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan
sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara,
sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.
Pada masa Agresi Belanda I itu lahir
putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung
perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran
Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula,
melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
Indonesia.
Otomatis Kim Teng jadi veteran
pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu
usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari
akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan yang sudah
lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru. Usaha mereka terletak di Jalan
Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai
tanah. Kedai kopi itu bernama ‘Kedai Kopi Yu Hun’. Kedai kopi umumnya dimiliki
warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.
Di tengah kesibukan mengurus kedai
kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir
tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya 5 anak. Tahun
1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak. Mereknya pun
diganti menjadi ‘Kedai Kopi Nirmala’. Usaha kedai kopi sempat mandek saat
peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Tiongkok tahun 1959. Beruntung Kim Teng
tak kena gusur ke Tiongkok.
Setelah situasi reda, ia mulai buka
usaha kedai kopi kembali. Namanya ‘Kedai Kopi Segar’. Saat itulah Kim Teng dan
istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok
Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian
menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan.
Seiring dengan bertambah banyak
anak, usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar,yang
lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan.
Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan
(pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar,
RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai
2. Kedai Kopi Kimteng di Jalan Senapelan jadi tempat kami menikmati sarapan
sebelum menjelajah Kampung Bandar Senapelan.
Setelah selesai minum kopi bersama
barulah kami memulai penjelajahan di Kampung Bandar Senapelan. Awal perjalanan kami mulai menelusuri kampung
dengan berjalan kaki . semangat pagi yang cerah mengantarkan langkah kaki kami
ke rumah Tuan Jafar. Beliau merupakan tuan tanah di Pekanbaru pada zaman
dahulu.
Foto diatas merupakan foto saat
kebersamaan kami di depan rumah tuan Jafar. Setelah berfoto kami melanjutkan
perjalanan menuju surau Al-Irhaash.
Surau Al-Irhaash tempat bersejarah
yang selanjutnya kami kunjungi. Surau ini berada dijalan Senapelan.
Foto diatas ini diambil saat kami berada di surau Al-
Irhaash.
Foto disamping adalah foto catatan
sejarah yang tertempel dibagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah
surau serta foto surau sebelum direnovasi.
Surau Al-Irhash sebelum renovasi
Surau Al-Irhaash didirikan sekitar
tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung
Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar
pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat.
Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun
1970-an.
Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat
menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak. Untuk mengikuti
syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu
sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu.
Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum
yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.
Renovasi pertama dilakukan tahun
2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar
mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi
total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan
baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.
Seperti ini lah keadaan Surau
Al-Irhash setelah renovasi.
Setelah berkunjung ke surau Al-Irhaas kami melanjutkan
penjelahan. Rute berikutnya yaitu melihat rumah adat melayu pada zaman dahulu.
Dibawah ini contoh foto rumah adat
melayu
Perjalanan
kami berlanjut menuju tempat bersejarah lainnya
yaitu terminal lama kota Pekanbaru. Tepian sungai siak tempat dimana kami
berdiri dulunya adalah terminal lama pintu kedatangan ke pekanbaru, kini
terminal tersebut sudah musnah dan hanya menyisakan sebuah bangunan kecil yang
dulunya digunakan sebagai Kursi tunggu bagi penumpang.. Letaknya tepat di bawah
Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu.
Dulu terminal ini berfungsi sebagai tempat prouksi pertaniaan untuk dibawa ke
Singapore. Jembatan Siak III sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan
nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau.
Jembatan ini jadi penghubung wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai
yang dibelah Sungai Siak. Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang
total 520 meter dan panjang bentang 170 meter.
Terminal lama kota Pekanbaru tak
terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di
sekitar kawasan terminal akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding
batu serta atapnya. Selain itu banyak sampah yang berserakan disana. dibawah
ini adalah foto Terminal lama kota Pekanbaru yang kami abadikan saat
menjelajah.
Sekitar limapuluh meter dari
terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning
beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Lebih
dari 14 tiang sebagai penyangga rumah. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928,
seperti tertera di tangga batunya.
Ini rumah singgah Tuan Qadhi H
Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada
masanya: pimpinan adat, pimpinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak
di pinggir Jalan Perdagangan di tepi Sungai Siak. Kediaman tetap Tuan Qadhi H
Zakaria berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks
Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat
kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.
Namun setelah direnovasi banyaknya
nilai-nilai sejarah yang hilang dari rumah panggung ini seperti tiang
penyanggah, pondasinya,arah pintunya sudah berubah dan rumah panggung ini
kurang perawatannya. Sehingga membuat wisatan kurang tertarik untuk mengunjungi
tempat ini. Padahal tempat ini merupakan tempat yang memiliki sejarah yang
menarik . alangkah baiknya pemerintah Pekanbaru memperhatikan rumah panggung
ini agar rumah panggung tetap terjaga dan nilai-nilai sejarahnya tidak hilang
ditelan masa. Penulis hanya menyarankan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan
kebudayaan dan tempat-tampat sejarah yang ada dipekanbaru.
Ini adalah foto yang kami abadikan
saat berada dirumah panggung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
sebuah pelabuhan , dulunya dinamakan Pelabuhan Manggis, pelabuhan ini dulunya cukup
ramai dan dijadikan pelabuhan pengangkut barang. Kini hanya tersisa sebuah
papan yang berfungsi sebagai dermaga. Dulu pelabuhan ini dijadikan sebagai
tempat bersilaturrahmi dan pusat ekonoomi.
Dipelabuhan ini zaman dahulu juga
dijadikan sebagai tempat yang sakral, dimana sebelum acara akad nikah
masyarakat kampung Senapelan melakukan proses cakap-cakap diair yang dilakukan
dipelabuhan ini. Namun, sekarang semua hanya tinggal cerita saja karena
pelabuhan yang terdapat di sungai siak ini sudah tidak berfungsi lagi
sebagaimana mestinya.
Tidak jauh dari Pelabuhan Manggis,
dapat kita jumpai sebuah rumah Tua yang Tinggi, rumah ini sudah ada semenjak
tahun 1886, rumah tua ini dulunya milik H Yahya.
H. Yahya adalah seorang toke getah karet yang sukses .
rumah ini berarsitektur Melayu Pesisir dan rumahnya cukup tinggi dan ini
menandakan bahwa si pemilik rumah seorang yang kaya, seorang datuk, seorang
penguasa ataupun seorang yang memiliki peranan penting baik ekonomi maupun
pemerintahan. Pada awal kemerdekaan rumah ini pernah dijadikan gudang logistik
dan dapur umum.
Namun sekarang rumah ini dijadikan
sebagai Rumah Tenun. Penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu yang
lagi menenun songket saat itu. “maaf buk mengganggu, ini dananya dari mana buk
dan berapa lama proses penenunan satu gulungan kain tenun ini ?”ujar Fani
novita sari. Ibu yang sedang menenunpun menjawab “ ini didanai oleh pemerintah
nak, kalau ibu mengerjakan satu gulung ini biasanya 15 hari.” Dibawah ini
adalah foto Rumah Tenun dan kondisi didalam rumah tenun tersebut.
Selain itu kami
dibolehkan mengenakan hasil tenunan di rumah tenun ini. Dibawah ini foto
penulis saat mengenakan selempang tenun bersama teman-teman.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Gudang Pelabuhan Pelindo I, disana kami menemukan sebuag batu persegi setinggi
sekitar 70 Cm masih terlihat kokoh. Batu ini menjadi saksi bisu perkembangan
Kota Pekanbaru. Di batu itu tertulis Pb. 0, Pad 313, Bkn 65 dan di bawahnya terdapat lambang PU. Tulisan tersebut
bermakna Tugu tersebut merupakan Tugu 0km Kota Pekanbaru, dan dari Tugu
tersebut Kota Bangkinang berjarak 65km dan Kota Padang berjarak 313km. Menurut
orang tua disekitar Tugu 0km tersebut, tugu ini semenjak tahun 1986 tidak lagi
menjadi titik 0km Kota Pekanbaru.
Setelah mengambil beberapa momen dan
dokumentasi di titik 0km Kota Pekanbaru,perjalanan kami lanjutkan menyusuri
akar rumput sejarah masa silam Pekanbaru. Sejarah telah mencatat pada abad ke-18
silam Bandar Senapelan pernah jadi ibukota Kerajaan Siak di tahun 1762-1766
semasa Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah (Sultan Siak IV) dan jadi ibukota
Provinsi Negeri Pekanbaru Kerajaan Siak semasa Sultan Syarif Hasyim seperti
yang tertuang dalam Pasal Delapan Bab al-Qawa’id (kitab UU Kerajaan Siak semasa
Sultan Syarif Hasyim) tahun 1898. Artinya, cikal bakal Pekanbaru adalah di
Kampung Bandar Senapelan, dibuktikan dengan adanya makam tokoh pendiri
Pekanbaru. Makam Marhum Pekan pendiri Kota Pekanbaru menjadi tujuan kami
berikutnya, dikomplek Makam marhum pekan kita juga dapat menjumpai makam
lainnya seperti makam Marhum Bukit, Markum Barat dan makam kerabat, keluarga
dan pengikut kerajaan Siak. Persis di sebelah Komplek Makam marhum pekan
terdapat sebuah Mesjid Tua yang bersejarah yaitu Masjid Raya Pekanbaru, mesjid
ini berdiri megah tapi sayang bentuk asli bangunan tersebut sudah hilang dan
mesjid dalam proses renovasi.
Beranjak dari komplek Makam marhum
Pekan dan Mesjid Raya pekanbaru, kami melanjutkan perjalanan menuju Rumah Tuan Kadi Kerajaan Siak yaitu Haji
Zakaria yang berada di jalan Senapelan Gang Pinggir. Rumah ini merupakan salah
satu peninggalan Kesultanan Siak masa lalu. Rumah peninggalan Tuan Kadi Zakaria
memang sudah direnovasi tapi tak mengubah bentuk asli bangunan, rumah ini
terlihat megah dengan arsitektur Eropa masa lalu, konon rumah ini diarsiteki
oleh arsitek yang membangun Istana Siak. Rumah ini dulunya menjadi pesanggrahan
atau rumah persinggahan Sultan Syarif Kasim II ketika bertandang ke
Pekanbaru,bahkan ada kamar khusus Sultan. Bahkan di rumah itu juga berbagai
persoalan dan strategi menata Bandar Senapelan selalu dibahas.
Foto diatas adalah detik terakhir
kebersamaan kami saat menjelajah kampung Bandar Senapelan. Disaat itu kami
beristirahat sejenak di halaman rumah ini. Ditengah canda tawa kami bapak
Elmustian berkata “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan meluyu juga
harus tau dan mengerti dengan sejarah bangsa yaitu salah satunya sejarah budaya
melayu.”
Setelah berfoto-foto di depan rumah
kami berencana untuk megakhiri penjelajahan. Sewaktu kami ingin meninggalkan
rumah tersebut ada keluarga yang tinggal di rumah itu memanggil kami dan
bertaya” darimana ..?”. seorang bapak bertanya kepada kami .
Kemudian bapak Elmustian menjawab “ kami dari
Universitas Riau melakukan penjelahan di kampung Bandar Senapelan dan
mempelajari sejarah kebudayaan melayu.” Ujar Bapak Elmustian. Setelah mendengar
keterangan tersebut dengan senang hati bapak tersebut memperbolehkan kami untuk
masuk kedalam rumah. Kemudian kamipun masuk dan bapak itu menjelaskan tiap
sudut sejarah yang ada didalam rumah tersebut. Mulai dari kamar sultan, ruang
tamu hingga kenangan sejarah yang ada dirumah itu.
Setelah
puas berada dirumah tuan Kadi penjelahan kamipun berakhir. Selesai sudahlah
penjelahan kami pada hari Minggu 17 Mei 2015 dikampung Bandar Senapelan.
Penulis berharap agar penjelajahan
ini terus dilakukan agar mahasiswa dapat mengenal sejarah budaya melayu. Bukan
itu saja penulis berharap agar pemerintah lebih memperhatikan tempat-tempat
bersejarah yang ada dipekanbaru khususnya di kampung Bandar Senapelan dan Para
tokoh masyarakat Senapelan harus melestarikan dan tidak boleh menghancurkan
temuan benda cagar budaya ini. Karena benda itu kelak jadi saksi bagi anak cucu
terhadap keberadaan Pekanbaru saat ini.
Demikianlah
laporan perjalanan penjelajahan kampung Bandar Senapelan yang dapat penulis
ceritakan. Penulis sangat senang dengan diadakannya kegiatan ini karena
kegiatan ini membuat mahasiswa sadar akan pentingnya memahami, menjaga dan
melestarikan kebudayaan suatu bangsa khususnya di sejarah dan kebudayaan melayu
di Pekanbaru.
Di
penjelajahan ini penulis memetik banyak kesimpulan dari kata-kata bapak
Elmustian yaitu “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan melayu harus tau dan
paham sejarah budaya melayu”.
Sekian dan terimakasih.
MENJELAJAH
KAMPUNG BANDAR SENAPELAN DAN MENGUNGKAP POTONGAN SEJARAH BUDAYA MELAYU
Peradaban sebuah bangsa menjadi bermakna, ketika anak bangsa mampu memahami dan mengingatnya dalam memori
yang dituangkan pada simbol-simbol peradaban. Dirasakan detak jantung dan
napasnya pada kehidupan nyata, serta mampu menghargai makna yang terkandung di
dalamnya. Melalui perilaku dan adab budaya, terkuaklah peradaban yang telah
dimiliki.
Kampung Bandar
Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota
Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang
kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun
berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah
baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama
Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak Sri Indrapura bernama
Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit
berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan
sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan
putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar
pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada 23 Juni 1784
berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah
Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru
dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit
van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru
menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan
ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah
pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur
militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka,
berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103,
Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau
kota besar.
Setelah itu berdasarkan UU No.22
tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota
Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan
keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari
kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan
Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi
menjadi ibukota Propinsi Riau. Itulah
sejarah singkat kota Pekanbaru yang berawal dari kampung Senapelan.
Sebuah perjalanan yang mengesankan
yang bertajuan "Menjadikan
kelurahan Kampung Bandar Senapelan Menjadi Kawasan Sejarah dan Cagar Budaya Melayu
di Kota pekanbaru" dalam kegiatan menjelajah kampung Bandar
Senapelan mengantarkan kami untuk menelusuri sebuah kejayaan dan peradaban
melayu masa lalu di kota Pekanbaru. Kami seakan berada di Pekanbaru masa lalu.
Minggu pagi 17 Mei 2015 kami dipandu oleh bapak Elmustian dosen kami yang
mengajarkan studi Budaya Melayu. Dengan semangat juang suara Bapak Elmustian
mengantarkan kami untuk menjelaskan situs sejarah dan pusat budaya melayu masyarakat
masa lalu.
Sebelum
memulai kegiatan menjelajah kami mahasiswa FKIP Bimbingan Dan Konseling B
angkatan 2014 bersama Bapak Elmustian berkunjung ke kim teng dimana disana kami
disuguhkan kopi. Makna dari meminum kopi tersebut yaitu pada zaman dahulu
masyarakat pekanbaru sebelum memulai pekerjaan atau aktivitas mereka meminum
kopi terlebih dahulu dan ini sudah menjadi kebudayaan ditengah masyarakat.
berikut ini adalah sejarah kedai kopi yang ternal pada masa lalu dan masih
bertahan saampai sekarang.
Tang Kim Teng lahir
di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama
kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia
anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu,
Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru.
Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari
kehidupan lebih baik.
Ketika berusia 4 tahun, dari
Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis,
Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka
pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja
Lung Chiu ayahnya serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga
putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di
sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau
biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak
Kecil, kerja serabutan.
Tahun 1934 mereka pindah lagi ke
Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah
sederhana di Jalan Makau–sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja
jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang
pekerja keras dan ulet.
Tahun 1935 Kim Teng pindah ke
Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak
keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang
sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh
abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung
Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu
Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya
mulai tumbuh.
Tahun 1939, Setelah empat tahun Kim
Teng di Pekanbaru, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat
kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari
sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang
jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu
masih musim penjajahan tentara Jepang.
Tahun 1943, saat berusia 22 tahun,
Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama
Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono
Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang
aktif mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat
Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan
sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara,
sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.
Pada masa Agresi Belanda I itu lahir
putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung
perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran
Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula,
melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
Indonesia.
Otomatis Kim Teng jadi veteran
pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu
usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari
akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan yang sudah
lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru. Usaha mereka terletak di Jalan
Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai
tanah. Kedai kopi itu bernama ‘Kedai Kopi Yu Hun’. Kedai kopi umumnya dimiliki
warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.
Di tengah kesibukan mengurus kedai
kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir
tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya 5 anak. Tahun
1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak. Mereknya pun
diganti menjadi ‘Kedai Kopi Nirmala’. Usaha kedai kopi sempat mandek saat
peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Tiongkok tahun 1959. Beruntung Kim Teng
tak kena gusur ke Tiongkok.
Setelah situasi reda, ia mulai buka
usaha kedai kopi kembali. Namanya ‘Kedai Kopi Segar’. Saat itulah Kim Teng dan
istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok
Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian
menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan.
Seiring dengan bertambah banyak
anak, usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar,yang
lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan.
Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan
(pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar,
RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai
2. Kedai Kopi Kimteng di Jalan Senapelan jadi tempat kami menikmati sarapan
sebelum menjelajah Kampung Bandar Senapelan.
Setelah selesai minum kopi bersama
barulah kami memulai penjelajahan di Kampung Bandar Senapelan. Awal perjalanan kami mulai menelusuri kampung
dengan berjalan kaki . semangat pagi yang cerah mengantarkan langkah kaki kami
ke rumah Tuan Jafar. Beliau merupakan tuan tanah di Pekanbaru pada zaman
dahulu.
Foto diatas merupakan foto saat
kebersamaan kami di depan rumah tuan Jafar. Setelah berfoto kami melanjutkan
perjalanan menuju surau Al-Irhaash.
Surau Al-Irhaash tempat bersejarah
yang selanjutnya kami kunjungi. Surau ini berada dijalan Senapelan.
Foto diatas ini diambil saat kami berada di surau Al-
Irhaash.
Foto disamping adalah foto catatan
sejarah yang tertempel dibagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah
surau serta foto surau sebelum direnovasi.
Surau Al-Irhash sebelum renovasi
Surau Al-Irhaash didirikan sekitar
tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung
Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar
pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat.
Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun
1970-an.
Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat
menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak. Untuk mengikuti
syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu
sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu.
Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum
yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.
Renovasi pertama dilakukan tahun
2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar
mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi
total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan
baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.
Seperti ini lah keadaan Surau
Al-Irhash setelah renovasi.
Setelah berkunjung ke surau Al-Irhaas kami melanjutkan
penjelahan. Rute berikutnya yaitu melihat rumah adat melayu pada zaman dahulu.
Dibawah ini contoh foto rumah adat
melayu
Perjalanan
kami berlanjut menuju tempat bersejarah lainnya
yaitu terminal lama kota Pekanbaru. Tepian sungai siak tempat dimana kami
berdiri dulunya adalah terminal lama pintu kedatangan ke pekanbaru, kini
terminal tersebut sudah musnah dan hanya menyisakan sebuah bangunan kecil yang
dulunya digunakan sebagai Kursi tunggu bagi penumpang.. Letaknya tepat di bawah
Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu.
Dulu terminal ini berfungsi sebagai tempat prouksi pertaniaan untuk dibawa ke
Singapore. Jembatan Siak III sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan
nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau.
Jembatan ini jadi penghubung wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai
yang dibelah Sungai Siak. Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang
total 520 meter dan panjang bentang 170 meter.
Terminal lama kota Pekanbaru tak
terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di
sekitar kawasan terminal akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding
batu serta atapnya. Selain itu banyak sampah yang berserakan disana. dibawah
ini adalah foto Terminal lama kota Pekanbaru yang kami abadikan saat
menjelajah.
Sekitar limapuluh meter dari
terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning
beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Lebih
dari 14 tiang sebagai penyangga rumah. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928,
seperti tertera di tangga batunya.
Ini rumah singgah Tuan Qadhi H
Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada
masanya: pimpinan adat, pimpinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak
di pinggir Jalan Perdagangan di tepi Sungai Siak. Kediaman tetap Tuan Qadhi H
Zakaria berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks
Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat
kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.
Namun setelah direnovasi banyaknya
nilai-nilai sejarah yang hilang dari rumah panggung ini seperti tiang
penyanggah, pondasinya,arah pintunya sudah berubah dan rumah panggung ini
kurang perawatannya. Sehingga membuat wisatan kurang tertarik untuk mengunjungi
tempat ini. Padahal tempat ini merupakan tempat yang memiliki sejarah yang
menarik . alangkah baiknya pemerintah Pekanbaru memperhatikan rumah panggung
ini agar rumah panggung tetap terjaga dan nilai-nilai sejarahnya tidak hilang
ditelan masa. Penulis hanya menyarankan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan
kebudayaan dan tempat-tampat sejarah yang ada dipekanbaru.
Ini adalah foto yang kami abadikan
saat berada dirumah panggung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
sebuah pelabuhan , dulunya dinamakan Pelabuhan Manggis, pelabuhan ini dulunya cukup
ramai dan dijadikan pelabuhan pengangkut barang. Kini hanya tersisa sebuah
papan yang berfungsi sebagai dermaga. Dulu pelabuhan ini dijadikan sebagai
tempat bersilaturrahmi dan pusat ekonoomi.
Dipelabuhan ini zaman dahulu juga
dijadikan sebagai tempat yang sakral, dimana sebelum acara akad nikah
masyarakat kampung Senapelan melakukan proses cakap-cakap diair yang dilakukan
dipelabuhan ini. Namun, sekarang semua hanya tinggal cerita saja karena
pelabuhan yang terdapat di sungai siak ini sudah tidak berfungsi lagi
sebagaimana mestinya.
Tidak jauh dari Pelabuhan Manggis,
dapat kita jumpai sebuah rumah Tua yang Tinggi, rumah ini sudah ada semenjak
tahun 1886, rumah tua ini dulunya milik H Yahya.
H. Yahya adalah seorang toke getah karet yang sukses .
rumah ini berarsitektur Melayu Pesisir dan rumahnya cukup tinggi dan ini
menandakan bahwa si pemilik rumah seorang yang kaya, seorang datuk, seorang
penguasa ataupun seorang yang memiliki peranan penting baik ekonomi maupun
pemerintahan. Pada awal kemerdekaan rumah ini pernah dijadikan gudang logistik
dan dapur umum.
Namun sekarang rumah ini dijadikan
sebagai Rumah Tenun. Penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu yang
lagi menenun songket saat itu. “maaf buk mengganggu, ini dananya dari mana buk
dan berapa lama proses penenunan satu gulungan kain tenun ini ?”ujar Fani
novita sari. Ibu yang sedang menenunpun menjawab “ ini didanai oleh pemerintah
nak, kalau ibu mengerjakan satu gulung ini biasanya 15 hari.” Dibawah ini
adalah foto Rumah Tenun dan kondisi didalam rumah tenun tersebut.
Selain itu kami
dibolehkan mengenakan hasil tenunan di rumah tenun ini. Dibawah ini foto
penulis saat mengenakan selempang tenun bersama teman-teman.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Gudang Pelabuhan Pelindo I, disana kami menemukan sebuag batu persegi setinggi
sekitar 70 Cm masih terlihat kokoh. Batu ini menjadi saksi bisu perkembangan
Kota Pekanbaru. Di batu itu tertulis Pb. 0, Pad 313, Bkn 65 dan di bawahnya terdapat lambang PU. Tulisan tersebut
bermakna Tugu tersebut merupakan Tugu 0km Kota Pekanbaru, dan dari Tugu
tersebut Kota Bangkinang berjarak 65km dan Kota Padang berjarak 313km. Menurut
orang tua disekitar Tugu 0km tersebut, tugu ini semenjak tahun 1986 tidak lagi
menjadi titik 0km Kota Pekanbaru.
Setelah mengambil beberapa momen dan
dokumentasi di titik 0km Kota Pekanbaru,perjalanan kami lanjutkan menyusuri
akar rumput sejarah masa silam Pekanbaru. Sejarah telah mencatat pada abad ke-18
silam Bandar Senapelan pernah jadi ibukota Kerajaan Siak di tahun 1762-1766
semasa Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah (Sultan Siak IV) dan jadi ibukota
Provinsi Negeri Pekanbaru Kerajaan Siak semasa Sultan Syarif Hasyim seperti
yang tertuang dalam Pasal Delapan Bab al-Qawa’id (kitab UU Kerajaan Siak semasa
Sultan Syarif Hasyim) tahun 1898. Artinya, cikal bakal Pekanbaru adalah di
Kampung Bandar Senapelan, dibuktikan dengan adanya makam tokoh pendiri
Pekanbaru. Makam Marhum Pekan pendiri Kota Pekanbaru menjadi tujuan kami
berikutnya, dikomplek Makam marhum pekan kita juga dapat menjumpai makam
lainnya seperti makam Marhum Bukit, Markum Barat dan makam kerabat, keluarga
dan pengikut kerajaan Siak. Persis di sebelah Komplek Makam marhum pekan
terdapat sebuah Mesjid Tua yang bersejarah yaitu Masjid Raya Pekanbaru, mesjid
ini berdiri megah tapi sayang bentuk asli bangunan tersebut sudah hilang dan
mesjid dalam proses renovasi.
Beranjak dari komplek Makam marhum
Pekan dan Mesjid Raya pekanbaru, kami melanjutkan perjalanan menuju Rumah Tuan Kadi Kerajaan Siak yaitu Haji
Zakaria yang berada di jalan Senapelan Gang Pinggir. Rumah ini merupakan salah
satu peninggalan Kesultanan Siak masa lalu. Rumah peninggalan Tuan Kadi Zakaria
memang sudah direnovasi tapi tak mengubah bentuk asli bangunan, rumah ini
terlihat megah dengan arsitektur Eropa masa lalu, konon rumah ini diarsiteki
oleh arsitek yang membangun Istana Siak. Rumah ini dulunya menjadi pesanggrahan
atau rumah persinggahan Sultan Syarif Kasim II ketika bertandang ke
Pekanbaru,bahkan ada kamar khusus Sultan. Bahkan di rumah itu juga berbagai
persoalan dan strategi menata Bandar Senapelan selalu dibahas.
Foto diatas adalah detik terakhir
kebersamaan kami saat menjelajah kampung Bandar Senapelan. Disaat itu kami
beristirahat sejenak di halaman rumah ini. Ditengah canda tawa kami bapak
Elmustian berkata “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan meluyu juga
harus tau dan mengerti dengan sejarah bangsa yaitu salah satunya sejarah budaya
melayu.”
Setelah berfoto-foto di depan rumah
kami berencana untuk megakhiri penjelajahan. Sewaktu kami ingin meninggalkan
rumah tersebut ada keluarga yang tinggal di rumah itu memanggil kami dan
bertaya” darimana ..?”. seorang bapak bertanya kepada kami .
Kemudian bapak Elmustian menjawab “ kami dari
Universitas Riau melakukan penjelahan di kampung Bandar Senapelan dan
mempelajari sejarah kebudayaan melayu.” Ujar Bapak Elmustian. Setelah mendengar
keterangan tersebut dengan senang hati bapak tersebut memperbolehkan kami untuk
masuk kedalam rumah. Kemudian kamipun masuk dan bapak itu menjelaskan tiap
sudut sejarah yang ada didalam rumah tersebut. Mulai dari kamar sultan, ruang
tamu hingga kenangan sejarah yang ada dirumah itu.
Setelah
puas berada dirumah tuan Kadi penjelahan kamipun berakhir. Selesai sudahlah
penjelahan kami pada hari Minggu 17 Mei 2015 dikampung Bandar Senapelan.
Penulis berharap agar penjelajahan
ini terus dilakukan agar mahasiswa dapat mengenal sejarah budaya melayu. Bukan
itu saja penulis berharap agar pemerintah lebih memperhatikan tempat-tempat
bersejarah yang ada dipekanbaru khususnya di kampung Bandar Senapelan dan Para
tokoh masyarakat Senapelan harus melestarikan dan tidak boleh menghancurkan
temuan benda cagar budaya ini. Karena benda itu kelak jadi saksi bagi anak cucu
terhadap keberadaan Pekanbaru saat ini.
Demikianlah
laporan perjalanan penjelajahan kampung Bandar Senapelan yang dapat penulis
ceritakan. Penulis sangat senang dengan diadakannya kegiatan ini karena
kegiatan ini membuat mahasiswa sadar akan pentingnya memahami, menjaga dan
melestarikan kebudayaan suatu bangsa khususnya di sejarah dan kebudayaan melayu
di Pekanbaru.
Di
penjelajahan ini penulis memetik banyak kesimpulan dari kata-kata bapak
Elmustian yaitu “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan melayu harus tau dan
paham sejarah budaya melayu”.
Sekian dan terimakasih.