Selasa, 27 Oktober 2015

laporan perjalanan :MENJELAJAH KAMPUNG BANDAR SENAPELAN DAN MENGUNGKAP POTONGAN SEJARAH BUDAYA MELAYU


MENJELAJAH KAMPUNG BANDAR SENAPELAN DAN MENGUNGKAP POTONGAN SEJARAH BUDAYA MELAYU
Peradaban sebuah bangsa menjadi bermakna, ketika anak bangsa  mampu memahami dan mengingatnya dalam memori yang dituangkan pada simbol-simbol peradaban. Dirasakan detak jantung dan napasnya pada kehidupan nyata, serta mampu menghargai makna yang terkandung di dalamnya. Melalui perilaku dan adab budaya, terkuaklah peradaban yang telah dimiliki.
Kampung Bandar Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak Sri Indrapura bernama Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada 23 Juni 1784 berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau kota besar.
Setelah itu berdasarkan UU No.22 tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibukota Propinsi Riau. Itulah  sejarah singkat kota Pekanbaru yang berawal dari kampung Senapelan.
Sebuah perjalanan yang mengesankan yang bertajuan "Menjadikan kelurahan Kampung Bandar Senapelan Menjadi Kawasan Sejarah dan Cagar Budaya Melayu di Kota pekanbaru" dalam kegiatan menjelajah kampung Bandar Senapelan mengantarkan kami untuk menelusuri sebuah kejayaan dan peradaban melayu masa lalu di kota Pekanbaru. Kami seakan berada di Pekanbaru masa lalu. Minggu pagi 17 Mei 2015 kami dipandu oleh bapak Elmustian dosen kami yang mengajarkan studi Budaya Melayu. Dengan semangat juang suara Bapak Elmustian mengantarkan kami untuk menjelaskan situs sejarah dan pusat budaya melayu masyarakat masa lalu.
            Sebelum memulai kegiatan menjelajah kami mahasiswa FKIP Bimbingan Dan Konseling B angkatan 2014 bersama Bapak Elmustian berkunjung ke kim teng dimana disana kami disuguhkan kopi. Makna dari meminum kopi tersebut yaitu pada zaman dahulu masyarakat pekanbaru sebelum memulai pekerjaan atau aktivitas mereka meminum kopi terlebih dahulu dan ini sudah menjadi kebudayaan ditengah masyarakat. berikut ini adalah sejarah kedai kopi yang ternal pada masa lalu dan masih bertahan saampai sekarang.
            Tang Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.
Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu ayahnya serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan.
Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau–sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.
Tahun 1935 Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh.
Tahun 1939, Setelah empat tahun Kim Teng di Pekanbaru, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu masih musim penjajahan tentara Jepang.
Tahun 1943, saat berusia 22 tahun, Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang aktif mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.
Pada masa Agresi Belanda I itu lahir putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.
Otomatis Kim Teng jadi veteran pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan yang sudah lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru. Usaha mereka terletak di Jalan Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai tanah. Kedai kopi itu bernama ‘Kedai Kopi Yu Hun’. Kedai kopi umumnya dimiliki warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.
Di tengah kesibukan mengurus kedai kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya 5 anak. Tahun 1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak. Mereknya pun diganti menjadi ‘Kedai Kopi Nirmala’. Usaha kedai kopi sempat mandek saat peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Tiongkok tahun 1959. Beruntung Kim Teng tak kena gusur ke Tiongkok.
Setelah situasi reda, ia mulai buka usaha kedai kopi kembali. Namanya ‘Kedai Kopi Segar’. Saat itulah Kim Teng dan istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan.
Seiring dengan bertambah banyak anak, usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar,yang lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan. Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan (pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar, RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai 2. Kedai Kopi Kimteng di Jalan Senapelan jadi tempat kami menikmati sarapan sebelum menjelajah Kampung Bandar Senapelan.
Setelah selesai minum kopi bersama barulah kami memulai penjelajahan di Kampung Bandar Senapelan.  Awal perjalanan kami mulai menelusuri kampung dengan berjalan kaki . semangat pagi yang cerah mengantarkan langkah kaki kami ke rumah Tuan Jafar. Beliau merupakan tuan tanah di Pekanbaru pada zaman dahulu.
Foto diatas merupakan foto saat kebersamaan kami di depan rumah tuan Jafar. Setelah berfoto kami melanjutkan perjalanan menuju surau Al-Irhaash.
Surau Al-Irhaash tempat bersejarah yang selanjutnya kami kunjungi. Surau ini berada dijalan Senapelan.
               
Foto diatas ini diambil saat kami berada di surau Al- Irhaash.
Foto disamping adalah foto catatan sejarah yang tertempel dibagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah surau serta foto surau sebelum direnovasi.
         
Surau Al-Irhash sebelum renovasi
Surau Al-Irhaash didirikan sekitar tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat. Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun 1970-an.
Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak.  Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu. Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.
Renovasi pertama dilakukan tahun 2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.

Seperti ini lah keadaan Surau Al-Irhash setelah renovasi.
Setelah berkunjung ke surau Al-Irhaas kami melanjutkan penjelahan. Rute berikutnya yaitu melihat rumah adat melayu pada zaman dahulu.
Dibawah ini contoh foto rumah adat melayu
            Perjalanan kami berlanjut  menuju tempat bersejarah lainnya yaitu terminal lama kota Pekanbaru. Tepian sungai siak tempat dimana kami berdiri dulunya adalah terminal lama pintu kedatangan ke pekanbaru, kini terminal tersebut sudah musnah dan hanya menyisakan sebuah bangunan kecil yang dulunya digunakan sebagai Kursi tunggu bagi penumpang.. Letaknya tepat di bawah Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu. Dulu terminal ini berfungsi sebagai tempat prouksi pertaniaan untuk dibawa ke Singapore. Jembatan Siak III sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau. Jembatan ini jadi penghubung wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai yang dibelah Sungai Siak. Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang total 520 meter dan panjang bentang 170 meter.
Terminal lama kota Pekanbaru tak terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di sekitar kawasan terminal akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding batu serta atapnya. Selain itu banyak sampah yang berserakan disana. dibawah ini adalah foto Terminal lama kota Pekanbaru yang kami abadikan saat menjelajah.
        
Sekitar limapuluh meter dari terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Lebih dari 14 tiang sebagai penyangga rumah. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928, seperti tertera di tangga batunya.
Ini rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada masanya: pimpinan adat, pimpinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak di pinggir Jalan Perdagangan di tepi Sungai Siak. Kediaman tetap Tuan Qadhi H Zakaria berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.
Namun setelah direnovasi banyaknya nilai-nilai sejarah yang hilang dari rumah panggung ini seperti tiang penyanggah, pondasinya,arah pintunya sudah berubah dan rumah panggung ini kurang perawatannya. Sehingga membuat wisatan kurang tertarik untuk mengunjungi tempat ini. Padahal tempat ini merupakan tempat yang memiliki sejarah yang menarik . alangkah baiknya pemerintah Pekanbaru memperhatikan rumah panggung ini agar rumah panggung tetap terjaga dan nilai-nilai sejarahnya tidak hilang ditelan masa. Penulis hanya menyarankan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan kebudayaan dan tempat-tampat sejarah yang ada dipekanbaru.
       
Ini adalah foto yang kami abadikan saat berada dirumah panggung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju sebuah pelabuhan , dulunya dinamakan Pelabuhan Manggis, pelabuhan ini dulunya cukup ramai dan dijadikan pelabuhan pengangkut barang. Kini hanya tersisa sebuah papan yang berfungsi sebagai dermaga. Dulu pelabuhan ini dijadikan sebagai tempat bersilaturrahmi dan pusat ekonoomi.
Dipelabuhan ini zaman dahulu juga dijadikan sebagai tempat yang sakral, dimana sebelum acara akad nikah masyarakat kampung Senapelan melakukan proses cakap-cakap diair yang dilakukan dipelabuhan ini. Namun, sekarang semua hanya tinggal cerita saja karena pelabuhan yang terdapat di sungai siak ini sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya.
    

Tidak jauh dari Pelabuhan Manggis, dapat kita jumpai sebuah rumah Tua yang Tinggi, rumah ini sudah ada semenjak tahun 1886, rumah tua ini dulunya milik H Yahya.
H. Yahya adalah seorang toke getah karet yang sukses . rumah ini berarsitektur Melayu Pesisir dan rumahnya cukup tinggi dan ini menandakan bahwa si pemilik rumah seorang yang kaya, seorang datuk, seorang penguasa ataupun seorang yang memiliki peranan penting baik ekonomi maupun pemerintahan. Pada awal kemerdekaan rumah ini pernah dijadikan gudang logistik dan dapur umum.
Namun sekarang rumah ini dijadikan sebagai Rumah Tenun. Penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu yang lagi menenun songket saat itu. “maaf buk mengganggu, ini dananya dari mana buk dan berapa lama proses penenunan satu gulungan kain tenun ini ?”ujar Fani novita sari. Ibu yang sedang menenunpun menjawab “ ini didanai oleh pemerintah nak, kalau ibu mengerjakan satu gulung ini biasanya 15 hari.” Dibawah ini adalah foto Rumah Tenun dan kondisi didalam rumah tenun tersebut.

                                        
             
 Selain itu kami dibolehkan mengenakan hasil tenunan di rumah tenun ini. Dibawah ini foto penulis saat mengenakan selempang tenun bersama teman-teman.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Gudang Pelabuhan Pelindo I, disana kami menemukan sebuag batu persegi setinggi sekitar 70 Cm masih terlihat kokoh. Batu ini menjadi saksi bisu perkembangan Kota Pekanbaru. Di batu itu tertulis Pb. 0, Pad 313, Bkn 65 dan di bawahnya terdapat lambang PU. Tulisan tersebut bermakna Tugu tersebut merupakan Tugu 0km Kota Pekanbaru, dan dari Tugu tersebut Kota Bangkinang berjarak 65km dan Kota Padang berjarak 313km. Menurut orang tua disekitar Tugu 0km tersebut, tugu ini semenjak tahun 1986 tidak lagi menjadi titik 0km Kota Pekanbaru.

Setelah mengambil beberapa momen dan dokumentasi di titik 0km Kota Pekanbaru,perjalanan kami lanjutkan menyusuri akar rumput sejarah masa silam Pekanbaru. Sejarah telah mencatat pada abad ke-18 silam Bandar Senapelan pernah jadi ibukota Kerajaan Siak di tahun 1762-1766 semasa Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah (Sultan Siak IV) dan jadi ibukota Provinsi Negeri Pekanbaru Kerajaan Siak semasa Sultan Syarif Hasyim seperti yang tertuang dalam Pasal Delapan Bab al-Qawa’id (kitab UU Kerajaan Siak semasa Sultan Syarif Hasyim) tahun 1898. Artinya, cikal bakal Pekanbaru adalah di Kampung Bandar Senapelan, dibuktikan dengan adanya makam tokoh pendiri Pekanbaru. Makam Marhum Pekan pendiri Kota Pekanbaru menjadi tujuan kami berikutnya, dikomplek Makam marhum pekan kita juga dapat menjumpai makam lainnya seperti makam Marhum Bukit, Markum Barat dan makam kerabat, keluarga dan pengikut kerajaan Siak. Persis di sebelah Komplek Makam marhum pekan terdapat sebuah Mesjid Tua yang bersejarah yaitu Masjid Raya Pekanbaru, mesjid ini berdiri megah tapi sayang bentuk asli bangunan tersebut sudah hilang dan mesjid dalam proses renovasi.
                        https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEwiOMzDpWtBVIdah_fsAz8kF_yBcz3vPigRltPQ95UsHuVq61n0ssXB6PwgKz7-VvUtMM1sgS86h6ksD8_-d3E8DvvBtujpGQDGe2xqY42pT4MEcyAXZ78CnZbrsed2hsZhVUEcRO5q0/s400/komplek+makam+marhum+pekan.JPG        https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4VlcV-R3KpTHm3SqFkrrJmbxMHjkFiikl_amYBVnEqgFvCMvBTLeZP6qZpF6SZqAx9dvGo5z-6_S2WuaP5uFlxIhFtoomSyf40yVtazp8PuqSUo23C2AuhI9EcYcoHenp957GX-NE9Xw/s320/makam+marhum+pekan.JPG
Beranjak dari komplek Makam marhum Pekan dan Mesjid Raya pekanbaru, kami melanjutkan perjalanan menuju Rumah Tuan Kadi Kerajaan Siak yaitu Haji Zakaria yang berada di jalan Senapelan Gang Pinggir. Rumah ini merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Siak masa lalu. Rumah peninggalan Tuan Kadi Zakaria memang sudah direnovasi tapi tak mengubah bentuk asli bangunan, rumah ini terlihat megah dengan arsitektur Eropa masa lalu, konon rumah ini diarsiteki oleh arsitek yang membangun Istana Siak. Rumah ini dulunya menjadi pesanggrahan atau rumah persinggahan Sultan Syarif Kasim II ketika bertandang ke Pekanbaru,bahkan ada kamar khusus Sultan. Bahkan di rumah itu juga berbagai persoalan dan strategi menata Bandar Senapelan selalu dibahas.           

Foto diatas adalah detik terakhir kebersamaan kami saat menjelajah kampung Bandar Senapelan. Disaat itu kami beristirahat sejenak di halaman rumah ini. Ditengah canda tawa kami bapak Elmustian berkata “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan meluyu juga harus tau dan mengerti dengan sejarah bangsa yaitu salah satunya sejarah budaya melayu.”
Setelah berfoto-foto di depan rumah kami berencana untuk megakhiri penjelajahan. Sewaktu kami ingin meninggalkan rumah tersebut ada keluarga yang tinggal di rumah itu memanggil kami dan bertaya” darimana ..?”. seorang bapak bertanya kepada kami .
Kemudian bapak Elmustian menjawab “ kami dari Universitas Riau melakukan penjelahan di kampung Bandar Senapelan dan mempelajari sejarah kebudayaan melayu.” Ujar Bapak Elmustian. Setelah mendengar keterangan tersebut dengan senang hati bapak tersebut memperbolehkan kami untuk masuk kedalam rumah. Kemudian kamipun masuk dan bapak itu menjelaskan tiap sudut sejarah yang ada didalam rumah tersebut. Mulai dari kamar sultan, ruang tamu hingga kenangan sejarah yang ada dirumah itu.
            Setelah puas berada dirumah tuan Kadi penjelahan kamipun berakhir. Selesai sudahlah penjelahan kami pada hari Minggu 17 Mei 2015 dikampung Bandar Senapelan.
Penulis berharap agar penjelajahan ini terus dilakukan agar mahasiswa dapat mengenal sejarah budaya melayu. Bukan itu saja penulis berharap agar pemerintah lebih memperhatikan tempat-tempat bersejarah yang ada dipekanbaru khususnya di kampung Bandar Senapelan dan Para tokoh masyarakat Senapelan harus melestarikan dan tidak boleh menghancurkan temuan benda cagar budaya ini. Karena benda itu kelak jadi saksi bagi anak cucu terhadap keberadaan Pekanbaru saat ini.
            Demikianlah laporan perjalanan penjelajahan kampung Bandar Senapelan yang dapat penulis ceritakan. Penulis sangat senang dengan diadakannya kegiatan ini karena kegiatan ini membuat mahasiswa sadar akan pentingnya memahami, menjaga dan melestarikan kebudayaan suatu bangsa khususnya di sejarah dan kebudayaan melayu di Pekanbaru.
            Di penjelajahan ini penulis memetik banyak kesimpulan dari kata-kata bapak Elmustian yaitu “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan melayu harus tau dan paham sejarah budaya melayu”.
Sekian dan terimakasih.
 MENJELAJAH KAMPUNG BANDAR SENAPELAN DAN MENGUNGKAP POTONGAN SEJARAH BUDAYA MELAYU
Peradaban sebuah bangsa menjadi bermakna, ketika anak bangsa  mampu memahami dan mengingatnya dalam memori yang dituangkan pada simbol-simbol peradaban. Dirasakan detak jantung dan napasnya pada kehidupan nyata, serta mampu menghargai makna yang terkandung di dalamnya. Melalui perilaku dan adab budaya, terkuaklah peradaban yang telah dimiliki.
Kampung Bandar Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak Sri Indrapura bernama Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada 23 Juni 1784 berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau kota besar.
Setelah itu berdasarkan UU No.22 tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibukota Propinsi Riau. Itulah  sejarah singkat kota Pekanbaru yang berawal dari kampung Senapelan.
Sebuah perjalanan yang mengesankan yang bertajuan "Menjadikan kelurahan Kampung Bandar Senapelan Menjadi Kawasan Sejarah dan Cagar Budaya Melayu di Kota pekanbaru" dalam kegiatan menjelajah kampung Bandar Senapelan mengantarkan kami untuk menelusuri sebuah kejayaan dan peradaban melayu masa lalu di kota Pekanbaru. Kami seakan berada di Pekanbaru masa lalu. Minggu pagi 17 Mei 2015 kami dipandu oleh bapak Elmustian dosen kami yang mengajarkan studi Budaya Melayu. Dengan semangat juang suara Bapak Elmustian mengantarkan kami untuk menjelaskan situs sejarah dan pusat budaya melayu masyarakat masa lalu.
            Sebelum memulai kegiatan menjelajah kami mahasiswa FKIP Bimbingan Dan Konseling B angkatan 2014 bersama Bapak Elmustian berkunjung ke kim teng dimana disana kami disuguhkan kopi. Makna dari meminum kopi tersebut yaitu pada zaman dahulu masyarakat pekanbaru sebelum memulai pekerjaan atau aktivitas mereka meminum kopi terlebih dahulu dan ini sudah menjadi kebudayaan ditengah masyarakat. berikut ini adalah sejarah kedai kopi yang ternal pada masa lalu dan masih bertahan saampai sekarang.
            Tang Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.
Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu ayahnya serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan.
Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau–sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.
Tahun 1935 Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh.
Tahun 1939, Setelah empat tahun Kim Teng di Pekanbaru, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu masih musim penjajahan tentara Jepang.
Tahun 1943, saat berusia 22 tahun, Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang aktif mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.
Pada masa Agresi Belanda I itu lahir putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.
Otomatis Kim Teng jadi veteran pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan yang sudah lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru. Usaha mereka terletak di Jalan Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai tanah. Kedai kopi itu bernama ‘Kedai Kopi Yu Hun’. Kedai kopi umumnya dimiliki warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.
Di tengah kesibukan mengurus kedai kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya 5 anak. Tahun 1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak. Mereknya pun diganti menjadi ‘Kedai Kopi Nirmala’. Usaha kedai kopi sempat mandek saat peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Tiongkok tahun 1959. Beruntung Kim Teng tak kena gusur ke Tiongkok.
Setelah situasi reda, ia mulai buka usaha kedai kopi kembali. Namanya ‘Kedai Kopi Segar’. Saat itulah Kim Teng dan istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan.
Seiring dengan bertambah banyak anak, usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar,yang lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan. Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan (pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar, RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai 2. Kedai Kopi Kimteng di Jalan Senapelan jadi tempat kami menikmati sarapan sebelum menjelajah Kampung Bandar Senapelan.
Setelah selesai minum kopi bersama barulah kami memulai penjelajahan di Kampung Bandar Senapelan.  Awal perjalanan kami mulai menelusuri kampung dengan berjalan kaki . semangat pagi yang cerah mengantarkan langkah kaki kami ke rumah Tuan Jafar. Beliau merupakan tuan tanah di Pekanbaru pada zaman dahulu.
Foto diatas merupakan foto saat kebersamaan kami di depan rumah tuan Jafar. Setelah berfoto kami melanjutkan perjalanan menuju surau Al-Irhaash.
Surau Al-Irhaash tempat bersejarah yang selanjutnya kami kunjungi. Surau ini berada dijalan Senapelan.
               
Foto diatas ini diambil saat kami berada di surau Al- Irhaash.
Foto disamping adalah foto catatan sejarah yang tertempel dibagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah surau serta foto surau sebelum direnovasi.
         
Surau Al-Irhash sebelum renovasi
Surau Al-Irhaash didirikan sekitar tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat. Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun 1970-an.
Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak.  Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu. Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.
Renovasi pertama dilakukan tahun 2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.

Seperti ini lah keadaan Surau Al-Irhash setelah renovasi.
Setelah berkunjung ke surau Al-Irhaas kami melanjutkan penjelahan. Rute berikutnya yaitu melihat rumah adat melayu pada zaman dahulu.
Dibawah ini contoh foto rumah adat melayu
            Perjalanan kami berlanjut  menuju tempat bersejarah lainnya yaitu terminal lama kota Pekanbaru. Tepian sungai siak tempat dimana kami berdiri dulunya adalah terminal lama pintu kedatangan ke pekanbaru, kini terminal tersebut sudah musnah dan hanya menyisakan sebuah bangunan kecil yang dulunya digunakan sebagai Kursi tunggu bagi penumpang.. Letaknya tepat di bawah Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu. Dulu terminal ini berfungsi sebagai tempat prouksi pertaniaan untuk dibawa ke Singapore. Jembatan Siak III sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau. Jembatan ini jadi penghubung wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai yang dibelah Sungai Siak. Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang total 520 meter dan panjang bentang 170 meter.
Terminal lama kota Pekanbaru tak terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di sekitar kawasan terminal akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding batu serta atapnya. Selain itu banyak sampah yang berserakan disana. dibawah ini adalah foto Terminal lama kota Pekanbaru yang kami abadikan saat menjelajah.
        
Sekitar limapuluh meter dari terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Lebih dari 14 tiang sebagai penyangga rumah. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928, seperti tertera di tangga batunya.
Ini rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada masanya: pimpinan adat, pimpinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak di pinggir Jalan Perdagangan di tepi Sungai Siak. Kediaman tetap Tuan Qadhi H Zakaria berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.
Namun setelah direnovasi banyaknya nilai-nilai sejarah yang hilang dari rumah panggung ini seperti tiang penyanggah, pondasinya,arah pintunya sudah berubah dan rumah panggung ini kurang perawatannya. Sehingga membuat wisatan kurang tertarik untuk mengunjungi tempat ini. Padahal tempat ini merupakan tempat yang memiliki sejarah yang menarik . alangkah baiknya pemerintah Pekanbaru memperhatikan rumah panggung ini agar rumah panggung tetap terjaga dan nilai-nilai sejarahnya tidak hilang ditelan masa. Penulis hanya menyarankan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan kebudayaan dan tempat-tampat sejarah yang ada dipekanbaru.
       
Ini adalah foto yang kami abadikan saat berada dirumah panggung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju sebuah pelabuhan , dulunya dinamakan Pelabuhan Manggis, pelabuhan ini dulunya cukup ramai dan dijadikan pelabuhan pengangkut barang. Kini hanya tersisa sebuah papan yang berfungsi sebagai dermaga. Dulu pelabuhan ini dijadikan sebagai tempat bersilaturrahmi dan pusat ekonoomi.
Dipelabuhan ini zaman dahulu juga dijadikan sebagai tempat yang sakral, dimana sebelum acara akad nikah masyarakat kampung Senapelan melakukan proses cakap-cakap diair yang dilakukan dipelabuhan ini. Namun, sekarang semua hanya tinggal cerita saja karena pelabuhan yang terdapat di sungai siak ini sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya.
    

Tidak jauh dari Pelabuhan Manggis, dapat kita jumpai sebuah rumah Tua yang Tinggi, rumah ini sudah ada semenjak tahun 1886, rumah tua ini dulunya milik H Yahya.
H. Yahya adalah seorang toke getah karet yang sukses . rumah ini berarsitektur Melayu Pesisir dan rumahnya cukup tinggi dan ini menandakan bahwa si pemilik rumah seorang yang kaya, seorang datuk, seorang penguasa ataupun seorang yang memiliki peranan penting baik ekonomi maupun pemerintahan. Pada awal kemerdekaan rumah ini pernah dijadikan gudang logistik dan dapur umum.
Namun sekarang rumah ini dijadikan sebagai Rumah Tenun. Penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu yang lagi menenun songket saat itu. “maaf buk mengganggu, ini dananya dari mana buk dan berapa lama proses penenunan satu gulungan kain tenun ini ?”ujar Fani novita sari. Ibu yang sedang menenunpun menjawab “ ini didanai oleh pemerintah nak, kalau ibu mengerjakan satu gulung ini biasanya 15 hari.” Dibawah ini adalah foto Rumah Tenun dan kondisi didalam rumah tenun tersebut.

                                        
             
 Selain itu kami dibolehkan mengenakan hasil tenunan di rumah tenun ini. Dibawah ini foto penulis saat mengenakan selempang tenun bersama teman-teman.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Gudang Pelabuhan Pelindo I, disana kami menemukan sebuag batu persegi setinggi sekitar 70 Cm masih terlihat kokoh. Batu ini menjadi saksi bisu perkembangan Kota Pekanbaru. Di batu itu tertulis Pb. 0, Pad 313, Bkn 65 dan di bawahnya terdapat lambang PU. Tulisan tersebut bermakna Tugu tersebut merupakan Tugu 0km Kota Pekanbaru, dan dari Tugu tersebut Kota Bangkinang berjarak 65km dan Kota Padang berjarak 313km. Menurut orang tua disekitar Tugu 0km tersebut, tugu ini semenjak tahun 1986 tidak lagi menjadi titik 0km Kota Pekanbaru.

Setelah mengambil beberapa momen dan dokumentasi di titik 0km Kota Pekanbaru,perjalanan kami lanjutkan menyusuri akar rumput sejarah masa silam Pekanbaru. Sejarah telah mencatat pada abad ke-18 silam Bandar Senapelan pernah jadi ibukota Kerajaan Siak di tahun 1762-1766 semasa Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah (Sultan Siak IV) dan jadi ibukota Provinsi Negeri Pekanbaru Kerajaan Siak semasa Sultan Syarif Hasyim seperti yang tertuang dalam Pasal Delapan Bab al-Qawa’id (kitab UU Kerajaan Siak semasa Sultan Syarif Hasyim) tahun 1898. Artinya, cikal bakal Pekanbaru adalah di Kampung Bandar Senapelan, dibuktikan dengan adanya makam tokoh pendiri Pekanbaru. Makam Marhum Pekan pendiri Kota Pekanbaru menjadi tujuan kami berikutnya, dikomplek Makam marhum pekan kita juga dapat menjumpai makam lainnya seperti makam Marhum Bukit, Markum Barat dan makam kerabat, keluarga dan pengikut kerajaan Siak. Persis di sebelah Komplek Makam marhum pekan terdapat sebuah Mesjid Tua yang bersejarah yaitu Masjid Raya Pekanbaru, mesjid ini berdiri megah tapi sayang bentuk asli bangunan tersebut sudah hilang dan mesjid dalam proses renovasi.
                        https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEwiOMzDpWtBVIdah_fsAz8kF_yBcz3vPigRltPQ95UsHuVq61n0ssXB6PwgKz7-VvUtMM1sgS86h6ksD8_-d3E8DvvBtujpGQDGe2xqY42pT4MEcyAXZ78CnZbrsed2hsZhVUEcRO5q0/s400/komplek+makam+marhum+pekan.JPG        https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4VlcV-R3KpTHm3SqFkrrJmbxMHjkFiikl_amYBVnEqgFvCMvBTLeZP6qZpF6SZqAx9dvGo5z-6_S2WuaP5uFlxIhFtoomSyf40yVtazp8PuqSUo23C2AuhI9EcYcoHenp957GX-NE9Xw/s320/makam+marhum+pekan.JPG
Beranjak dari komplek Makam marhum Pekan dan Mesjid Raya pekanbaru, kami melanjutkan perjalanan menuju Rumah Tuan Kadi Kerajaan Siak yaitu Haji Zakaria yang berada di jalan Senapelan Gang Pinggir. Rumah ini merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Siak masa lalu. Rumah peninggalan Tuan Kadi Zakaria memang sudah direnovasi tapi tak mengubah bentuk asli bangunan, rumah ini terlihat megah dengan arsitektur Eropa masa lalu, konon rumah ini diarsiteki oleh arsitek yang membangun Istana Siak. Rumah ini dulunya menjadi pesanggrahan atau rumah persinggahan Sultan Syarif Kasim II ketika bertandang ke Pekanbaru,bahkan ada kamar khusus Sultan. Bahkan di rumah itu juga berbagai persoalan dan strategi menata Bandar Senapelan selalu dibahas.           

Foto diatas adalah detik terakhir kebersamaan kami saat menjelajah kampung Bandar Senapelan. Disaat itu kami beristirahat sejenak di halaman rumah ini. Ditengah canda tawa kami bapak Elmustian berkata “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan meluyu juga harus tau dan mengerti dengan sejarah bangsa yaitu salah satunya sejarah budaya melayu.”
Setelah berfoto-foto di depan rumah kami berencana untuk megakhiri penjelajahan. Sewaktu kami ingin meninggalkan rumah tersebut ada keluarga yang tinggal di rumah itu memanggil kami dan bertaya” darimana ..?”. seorang bapak bertanya kepada kami .
Kemudian bapak Elmustian menjawab “ kami dari Universitas Riau melakukan penjelahan di kampung Bandar Senapelan dan mempelajari sejarah kebudayaan melayu.” Ujar Bapak Elmustian. Setelah mendengar keterangan tersebut dengan senang hati bapak tersebut memperbolehkan kami untuk masuk kedalam rumah. Kemudian kamipun masuk dan bapak itu menjelaskan tiap sudut sejarah yang ada didalam rumah tersebut. Mulai dari kamar sultan, ruang tamu hingga kenangan sejarah yang ada dirumah itu.
            Setelah puas berada dirumah tuan Kadi penjelahan kamipun berakhir. Selesai sudahlah penjelahan kami pada hari Minggu 17 Mei 2015 dikampung Bandar Senapelan.
Penulis berharap agar penjelajahan ini terus dilakukan agar mahasiswa dapat mengenal sejarah budaya melayu. Bukan itu saja penulis berharap agar pemerintah lebih memperhatikan tempat-tempat bersejarah yang ada dipekanbaru khususnya di kampung Bandar Senapelan dan Para tokoh masyarakat Senapelan harus melestarikan dan tidak boleh menghancurkan temuan benda cagar budaya ini. Karena benda itu kelak jadi saksi bagi anak cucu terhadap keberadaan Pekanbaru saat ini.
            Demikianlah laporan perjalanan penjelajahan kampung Bandar Senapelan yang dapat penulis ceritakan. Penulis sangat senang dengan diadakannya kegiatan ini karena kegiatan ini membuat mahasiswa sadar akan pentingnya memahami, menjaga dan melestarikan kebudayaan suatu bangsa khususnya di sejarah dan kebudayaan melayu di Pekanbaru.
            Di penjelajahan ini penulis memetik banyak kesimpulan dari kata-kata bapak Elmustian yaitu “ orang melayu harus dimelayukan dan orang bukan melayu harus tau dan paham sejarah budaya melayu”.
Sekian dan terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar